Hukum Mubahalah
Khilafah Baqiyah
17.37
0
Apa yang dimaksud dengan mubahalah ?. Apa konsekwensinya dan kapan disyari’atkannya ?
–soal 1083 fil mimbar–
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Apa yang dimaksud dengan mubahalah ?, apa hukum dan kapan disyari’atkannya ?, serta apakah boleh bagi penuntut ilmu pemula mengajak mubahalah seseorang yang ilmunya lebih tinggi darinya, ketika melihat dirinya di atas al haq ?
Dijawab : Al Lajnah Asy-Syar’iyyah Fil Mimbar.
Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh.
Saudara penanya… Al-Mubahalah adalah Al-Mula’anah (melaknat). Telah berkata Ibnu Faris : … Al-Ba, Al-Ha, dan Al-Lam… Adalah di antara bentuk do’a… (Mu’jam Muqoyis Al Lughoh, 1/310)
Al-Bahlu maknanya Al-La’nu (laknat), “Bahalahullah Bahlan”, maknanya : Allah telah melaknatnya dengan laknat. “Wa’alaihi Bahlatullah” maknanya : Dan atasnya laknat Allah. Dan orang yang melaknat suatu kaum, sebagian mereka dengan sebagian yang lain, dikatakan mereka saling bermubahalah apabila mereka saling melaknat. Karena itu Al-Mubahalah maknanya Al-Mula’anah (saling melaknat).
Hukum mubahalah Al-Jawaz (diperbolehkan) dan disyari’atkan ketika tampak kejelasan hujjah atas orang yng membantah, dan nampak jelas rusaknya tuduhannya. Apabila tidak mengakui dan tidak mau ikut, maka boleh mengajaknya kepada mubahalah.
Allah ta’ala telah berfirman : “Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), “Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, kami sendiri dan kamu juga. Kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (Ali Imron : 61). Abu Ubaidah dan Al Kasa’i telah berkata : “Kemudian marilah kita bermubahalah”, maknanya : Marilah saling melaknat. (Tafsir Al-Qurthubiy, 4/104).
Gambaran pelaksanaan mubahalah yaitu : Suatu kaum berkumpul apabila mereka berselisih terhadap sesuatu, kemudian mereka mengucapkan : “Semoga laknat Allah atas (pihak) yang dholim di antara kita.” (Lisanul Arob, 11/72).
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pernah menuntut sebagian Nahudi dan Nashrani untuk bermubahalah, dan kisah ini banyak ditulis di kitab-kitab shiroh.
Al-Khotib Al-Baghdadiy telah meriwayatkan sebuah atsar yang sanadnya sampai kepada Ibnu Abbas -rodliyallahu’anhu-, dia berkata : “Aku sangat menyayangkan orang-orang yang membantahku dalam sebuah perkara yang telah diijmakan, dimana hal itu di sisi kami merupakan hal yang diwajibkan. Kemudian kami mengajak mereka (yang membantah) untuk bermubahalah, lalu kami bermubahalah hingga laknat Allah menimpa orang-orang yang mendustakan”. (Al Faqih Wal Mutafaqiih, 2/63).
Imam Al-Auza’iy mengajak sebagian ahli ilmu untuk bermula’anah (bermubahalah) di rukun (di dekat Hajar Aswad) siapa di antara kita di atas kebenaran dalam hal pengambilan dalil atas sebagian perkara-perkara yang furu’… (Lihat : Mahasinul Masa’iy Fi Manaqib Al Auza’iy, 69-72).
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah -rahimahullah- telah mengajak para syaikh Al-Mutho’ihiyyah -sebuah kelompok suffiyyah- untuk bermubahalah dalam perkara-perkara yang besar (dalam dien) yang telah diketahui. Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 11/445-475. Gambaran dari mubahalah ini dapat dilihat di topik : “Munadloroh Ibnu Taimiyyah Lithifati Rifa’iyyah”.
Al Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- pernah bermubahalah dengan sebagian pengikut Ibnu Arobiy. Lihat di Mushori’ At Tashuf, karya Al-Baqo’iy, 149-150. Al Alusiy juga menyebutkannya dalam kitab Ghoyatul Amaniy, 2/374. Dan Al Hafidz juga menceritakan hal itu dalam kitab beliau Fathul Bariy (Syarah Shahih Bukhoriy)
Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- telah berkata, dan dia menyebutkan faidah-faidah dari kisah utusan raja dari Najran. Dari kisah tersebut ada sunnah di dalam membantah pelaku kebathilan, apabila telah tegak atas mereka hujjah Allah dan mereka tidak mau menerima (rujuk), bahkan mereka bersikukuh dalam penolakannya, maka ajaklah mereka untuk mubahalah, karena sungguh Allah telah memerintahkan hal ini, demikian juga Rasul-Nya. Allah ta’ala tidak berfirman (kepada Rasul-Nya) : “Sesungguhnya hal ini (mubahalah) tidak berlaku untuk umatmu setelahmu”.
Anak paman Abdullah bin Abbas juga menyerukan hal ini ketika ada orang yang mengingkari sebagian masalah-masalah furu’. Dan para shahabat-shahabat lain tidak mengingkarinya. Demikian juga Imam Al Auza’iy menyerukan kepada hal ini dan tidak mengingkarinya… Dan ini adalah hujjah yang sempurna (dalam sunnah mubahalah”. (Zadul Ma’ad, Imam Ibnul Qayyim, 3/643).
Al Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata dalam mengambil manfaat kisah mubahalahnya (terhadap para pengikut Ibnu Arobiy) : “Dan kisah tersebut di dalamnya ada tuntutan syari’at untuk melakukan mubahalah terhadap orang-orang yang menyelisihi (al haq) apabila mereka tetap bersikukuh setelah disampaikan hujjah. Ibnu Abbas telah menyampaikan hal ini, juga Imam Al-Auza’iy, serta disepakati oleh para ulama. Demikian juga dari pengalaman, bahwa siapa yang ikut bermubahalah dan dia ada pada posisi kebathilan, maka tidak lewat atasnya satu tahun dari hari ketika ia ikut mubahalah (ia terkena laknat). Hal itu didapati pada seseorang yang cenderung pada sebagian orang kafir, maka ia tidak bisa selamat (dari laknat) setelah mubahalah kecuali hanya dua bulan”. (Fathul Bariy, 8/95).
Setelah penjelasan tersebut sungguh aku tidak menganjurkan kepada para penuntut ilmu pemula untuk terburu-buru mengajak mubahalah, apalagi penuntut ilmu yang masih dasar. Dan tidak sepatutnya ia sibuk dengan urusan itu (mubahalah), yang kadang ia ikut suatu pendapat pada hari ini, namun berubah dari pendapat itu esok harinya. Khususnya dalam masalah-masalah yang furu’ (cabang)… Akan tetapi dia menyibukan diri dalam rangka thalabul ilmiy, beramal dengan ilmu itu dan mendakwahkannya, dan berhujah terhadap orang-orang yang menolak (al haq) dengan hikmah dan cara yang baik…
Adapun mubahalah, untuk melakukannya dan orang-orangnya hendaknya dari orang-orang yang mendalam ilmunya dan sepadan… Wallahu a’lam.
Anggota Lajnah Asy-Syar’iyyah Fil Mimbar
Asy Syaikh Abu Humam Bakr Bin Abdil Aziz Al Atsariy.
————
Alih bahasa : Abu Yusuf Al-Indunisiy
awal muharrom 1433 H
Mu’taqol Thoghut.
sumber : thoriquna
Tidak ada komentar